Zakat menurut bahasa artinya adalah “berkembang” (an namaa`) atau “pensucian” (at tath-hiir).
Adapun menurut syara’, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah) (Zallum, 1983 : 147).
Dengan perkataan “hak yang telah ditentukan besarnya” (haqqun muqaddarun), berarti zakat tidak mencakup hak-hak –berupa pemberian harta– yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf.
Dengan perkataan “yang wajib (dikeluarkan)” (yajibu), berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah sunnah).
Sedangkan ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.
Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan shadaqah? Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (sharful maal ilal haajah) (Al Jurjani, tt : 39). Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” –yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.
Maka hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah (denda) berupa harta adalah termasuk infaq. Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk salah satu kegiatan infaq. Sebab semua itu merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima.
Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif, yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan, bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).
Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :
Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan (Mahmud Yunus, 1936 : 33, Wahbah Az Zuhaili, 1996 : 919). Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah (Az Zuhaili 1996 : 916). Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah (Az Zuhaili 1996 : 751). Namun seperti uraian Az Zuhaili (1996 : 916), hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ :
“Al wasilatu ilal haram haram”, “Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.
Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa (mudhthar) yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar (izalah adh dharar) yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali denganshadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :
“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”, “Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”
Dalam ‘urf (kebiasaan) para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat.
Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat (Zallum, 1983 : 148). Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)
Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman :
“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.
Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.
Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain. Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.
Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah).
Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.
Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.
Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”) beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah. Amar ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah. Demikian seterusnya (An Nawawi, 1981 : 91).
Walhasil, sebagaimana halnya makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “shadaqah”, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain, terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan :
“Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.”, “Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya).” (Usman, 1996 : 181, An Nabhani, 1953 : 135, Az Zaibari : 151)
Namun demikian, bisa saja lafazh “shadaqah” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, “shadaqah” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103)
Kata “shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989 : 400-401) ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.
Karena itu, Ibnu Katsir berpendapat bahwa kata “shadaqah” dalam ayat di atas bermakna umum, bisa shadaqah wajib (zakat) atau shadaqah sunnah (Ibnu Katsir, 1989 : 400). As Sayyid As Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah Juz I (1992 : 277) juga menyatakan, “shadaqah” dalam ayat di atas dapat bermakna zakat yang wajib, maupun shadaqah tathawwu’.

Yang berhak menerima sedekah/infaq.
Pertama : yang paling berhak adalah keluarga (istri dan anak-anak). Allah berfirman :


وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya : "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf." (QS Al-Baqoroh : 233) 
Jumhur (kebanyakan) ulama mengatakan dalam hal nafkah : nafkah disini meliputi nafkah wajib kepada keluarga, anak-anak dan kerabat-kerabat serta meliputi shodaqoh mustahabbah (sunnah). (Sumber Tafsir Al-Mannar)
Sabda Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- pada haji wada' :
اتقوا الله في النساء، فإنهن عوان عندكم، أخذتموهن بأمانة الله ، واستحللتم فروجهن بكلمة الله ، ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف
Artinya : "bertakwalah kepada Allah pada istri-istri kalian. karena sesungguhnya mereka berada dalam tanggungan kalian. kalian telah mengambil mereka dengan (sebagai) amanah dari Allah, dan kalian telah halalkan mereka untuk kalian dengan nama Allah. dan hak mereka atas kalian adalah nafkah sandang pangan dengan cara yang baik." (HR Muslim dan Abu Daud)
Kedua : keluarga termasuk ayah dan ibu.
Sebagaimana firman Allah :
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya : "(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. " (QS Al-Baqoroh : 3)
Ketiga : kerabat-kerabat yang tidak mampu. sesuai tafsir ayat diatas. karena setiap orang menanggung dan diwajibkan atas nafkah keluarganya dan yang paling dekat dan terdekat.

8 asnaf (pihak) penerima zakat.
Allah berfirman :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya : "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS At-Taubah : 60)
Allah menentukan 8 pihak yang berhak menerima zakat. orang fakir, miskin, pengurus zakat, mu'allaf, untuk memerdekakan budak, yang berhutang, untuk yang dijalan Allah dan yang bepergian yang kehabisan bekal.
Akan tetapi makna dari orang fakir dan yang lainnya sendiri adalah umum yang meliputi orang fakir dari keluarga dan kerabat, dan orang fakir dari luar keluarga. begitu juga seterusnya. maka orang fakir dari orang-orang terdekatlah yang diutamakan dari pada orang lain. bagaimana mungkin seseorang mengurus orang lain sedangkan keluarganya tidak diurus sama sekali?!
Maka ulama sepakat, bahwa paling dekat diutamakan. dan yang paling dekat bagi seorang adalah istri dan anak-anaknya, ayah dan ibu, serta saudara-saudara yang paling dekat dan terdekat.

Menyisihkan sebagian penghasilan untuk orang tua.
Ketika anda menyisihkan sebagian penghasilan anda untuk ayah ibu anda, maka anda telah melaksanakan shodaqoh wajib, karena setelah anda menikah anda juga memiliki tanggungan atas orang tua anda (lihat perkataan jumhur ulama tentang nafkah wajib diatas).

Yang paling dekat kemudian yang terdekat.
Ketika anda mempunyai saudara yang membutuhkan bantuan anda, sedangkan anda mampu, akan tetapi anda tidak membantunya malah membantu orang jauh, maka sebaiknya anda memprioritaskan orang-orang terdekat terlebih dahulu dari pada yang lainnya (lihat penjelasan tentang 8 pihak yang berhak menerima zakat diatas).

Kesimpulan:
Infaq adalah suatu bentuk kegiatan dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima. Terdiri dari hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah (denda) berupa harta, bahkan shodaqoh dan zakat pun termasuk salah satu kegiatan infaq.
Zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu. Penerimanya juga telah ditentukan yaitu terdiri dari 8 golongan/asnaf: fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, gharimin, fisabilillah, ibnu sabil.
Shodaqoh adalah pemberian yang dapat berupa harta maupun perbuatan baik. Shodaqoh Wajib disebut Zakat (berupa harta). Shodaqoh Sunnah, tidak harus berupa harta (mis. berbuat baik, tersenyum) dan tidak ditentukan besarnya serta dapat diberikan kepada siapa saja.


Sumber :
Muhammad Shiddiq Al Jawi (www.al-fauzien.web.id)
http://www.artikelislami.com/
Referensi :
An Nabhani, Taqiyyudin. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III. tp. Al Quds. Cet. II. 1953
An Nabhani, Taqiyyudin. An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam. Darul Ummah. Beirut cetakan IV, 1990
An Nabhani, Taqiyyudin. Muqaddimah Dustur. tp. t-tp. 1963
An Nawawi. Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi Juz VII. Darul Fikr. Beirut. 1982
As Sabiq, As Sayyid. Fiqhus Sunnah Juz I . Darul Fikr. Beirut. 1992.
Az Zaibari, Amir Sa’id. Kiat Menjadi Pakar Fiqih. Gema Risalah Press. Bandung. 1998
Az Zuhaili, Wahbah. Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz II. Darul Fikr. Damaskus. 1996
Ibnu Katsir. Tafsir al Qur`an Al Azhim Juz II. Darul Ma’rifah. Beirut. Cetakan III. 1989
Ulwan, Abdullah Nasih. Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab. Litera Antar Nusa. Jakarta. 1985
Usman, Muhlish. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. RajaGrafindo Perkasa. Jakarta. cetakan I. 1996
Yunus, Mahmud. Al Fiqhul Wadhih Juz II. Maktabah As Sa’diyah Putra. Padang. 1936
Zallum, Abdul Qadim. Al Amwal fi Daulati