Shalat Tarawih ( 2 )
Bolehkah Menambah Raka’at
Shalat Tarawih Lebih dari 11 Raka’at?
Mayoritas ulama terdahulu dan ulama
belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan,
“Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu.
Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan
perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga
boleh mengerjakan banyak.”[1]
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai
shalat malam, beliau menjawab,
صَلاَةُ
اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً
وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua raka’at-dua
raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka
kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan
witir.”[2] Padahal ini dalam konteks pertanyaan.
Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam akan menjelaskannya.
Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَعِنِّى
عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan
cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).”[3]
Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ
لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ
عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya engkau tidaklah
melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu
derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.”[4] Dalil-dalil ini dengan sangat jelas
menunjukkan bahwa kita dibolehkan memperbanyak sujud (artinya: memperbanyak
raka’at shalat) dan sama sekali tidak diberi batasan.
Keempat, pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari
tiga dalil di atas.
Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana
kaedah yang diterapkan dalam ilmu ushul.
Alasan kedua, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 raka’at.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan
tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan
tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau
tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan
tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. … Barangsiapa
yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at
tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak
boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh
dia telah keliru.”[5]
Alasan ketiga, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan
shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja
beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun
tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah
tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas.
Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan
dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada dalil yang bertentangan.
Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan
shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika
melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar
shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan
malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai
imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir
sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan
dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan
bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.”[6]
Keenam, manakah yang lebih utama melakukan shalat malam 11 raka’at
dalam waktu 1 jam ataukah shalat malam 23 raka’at yang dilakukan dalam waktu
dua jam atau tiga jam?
Yang satu mendekati perbuatan Nabi shallalahu
‘alaihi wa sallam dari segi jumlah raka’at. Namun yang satu mendekati
ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari segi lamanya. Manakah di
antara kedua cara ini yang lebih baik?
Jawabannya, tentu yang kedua yaitu yang
shalatnya lebih lama dengan raka’at yang lebih banyak. Alasannya, karena
pujian Allah terhadap orang yang waktu malamnya digunakan untuk shalat malam
dan sedikit tidurnya. Allah Ta’ala berfirman,
كَانُوا
قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Di dunia mereka sedikit sekali
tidur diwaktu malam.” (QS. Adz Dzariyat: 17)
وَمِنَ
اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا
“Dan pada sebagian dari malam,
maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang
panjang dimalam hari.” (QS. Al Insan: 26)
Oleh karena itu, para ulama ada yang
melakukan shalat malam hanya dengan 11 raka’at namun dengan raka’at yang
panjang. Ada pula yang melakukannya dengan 20 raka’at atau 36 raka’at. Ada pula
yang kurang atau lebih dari itu. Mereka di sini bukan bermaksud menyelisihi
ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang mereka inginkan
adalah mengikuti maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan
mengerjakan shalat malam dengan thulul qunut (berdiri yang lama).
Sampai-sampai sebagian ulama
memiliki perkataan yang bagus, “Barangsiapa yang ingin memperlama berdiri dan
membaca surat dalam shalat malam, maka ia boleh mengerjakannya dengan raka’at
yang sedikit. Namun jika ia ingin tidak terlalu berdiri dan membaca surat,
hendaklah ia menambah raka’atnya.”
Mengapa ulama ini bisa mengatakan
demikian? Karena yang jadi patokan adalah lama berdiri di hadapan Allah ketika
shalat malam.[7]
Berbagai Pendapat Mengenai
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13
raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah
pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena
inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah
pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir).
Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i,
Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya.
Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “’Umar
mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh
Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20
raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini
menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan,
“Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan
tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat
tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah
20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan
hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat
tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga
hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini
amatlah banyak.”[8]
Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir.
Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois,
dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih.
Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir.
Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam
sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal
melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan jumlah raka’at yang tak terhitung
sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah, anaknya[9].[10]
Kesimpulan dari pendapat-pendapat
yang ada sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah
raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan
dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah
melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah
kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus
melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at,
sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu,
demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak
mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam
dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan
oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan
antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun
seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga
diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga
telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang
menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari
11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.”[11]
Dari penjelasan di atas kami
katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi
permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami
yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10
raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23
raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.
Yang Paling Bagus adalah
Yang Panjang Bacaannya
Setelah penjelasan di atas, tidak
ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik
adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun
berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at
dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas
ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أَفْضَلُ
الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang
lama berdirinya.”[12]
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ
مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang seseorang shalat mukhtashiron.”[13] Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan
hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar
khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron)
dalam hadits
di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika
membaca surat, ruku’ dan sujud.[14]
Oleh karena itu, tidak tepat jika
shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang
dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan
lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan.
Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh thuma’ninah, bukan dengan
kebut-kebutan. Karena ingatlah bahwa thuma’ninah (bersikap tenang) adalah
bagian dari rukun shalat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] At Tamhid, 21/70.
[2] HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari
Ibnu ‘Umar.
[3] HR. Muslim no. 489
[4] HR. Muslim no. 488
[5] Majmu’ Al Fatawa, 22/272.
[6] Majmu’ Al Fatawa, 22/272
[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/414-416 dan At
Tarsyid, hal. 146-149.
[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9636
[9] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267
[11] Majmu’ Al Fatawa, 22/272
[12] HR. Muslim no. 756
[13] HR. Bukhari no. 1220 dan Muslim no. 545.
[14] Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah
Muhammad Salim, 49/3.
0 komentar:
Posting Komentar